Gaya Jakarta dalam Keragaman Budaya
oleh: Ahmad Rafli Anhar
(Co-Founder saungelmu)
Jakarta, ibukota negara, miniatur Indonesia, sebuah kota metropolitan dengan beragam modernitas didalamnya. Seyogyanya, dengan gelar yang disandangnya tersebut, menjadikan Jakara sebagai sebuah kota yang berbudaya. Sebuah prototype kota modern, contoh bagi kota-kota lainnya di Indonesia. Namun tampaknya tidaklah demikian pada kenyataannya.
Hitam putih keragaman ibukota
Jauh panggang dari api, mungkin demikian yang dikatakan pribahasa. Jakarta dengan kemultikulturalnya, ternyata memiliki dwiwarna sekaligus didalamnya. Hitam dan putih sisi ibukota.
Kemultikulturalan tersebut jelas merupakan keunggulan yang dimiliki oleh Jakarta. Bagaimana tidak, jika ternyata di Jakarta terdapat beragam suku bangsa. Mungkin terkesan naïf, dari Sabang sampai Merauke bertumpah-ruah di sana. Hal tersebut menjadikan Jakarta istimewa, menjadikannya sebagai miniatur nusantara.
Namun ternyata kemultikulturalan memberi sisi yang gelap pula. Keanekaragaman suku bangsa yang mendiami Jakarta, kerap menyulut api konflik antar warga.[1] Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antar mereka. Yang tidak diimbangin dengan alat pemenuhan kepentingan atau kebutuhan yang ada.
Berubahnya sikap warga
Warga Jakarta yang dahulu didominasi etnis Betawi terkenal sebagai warga yang sopan, ramah, egaliter (Abdul Chaer, 2012) maupun terbuka. Namun seiring berkembangnya zaman, maraknya urbanisasi serta terjadinya kontak dan transformasi budaya. Sikap tersebut kini seakan menguap bersama deru-debu pesatnya pembangunan kota.
(saungelmu, mencoba bertahan dan menumbuh-kembangkan kembali sikap serta nilai budaya lama)
Jakarta, saat ini telah milik bersama. Etnis Betawi, yang diklaim sebagai penduduk asli, bukanlah menjadi satu-satunya pemilik Jakarta. Kemultikulturan yang disebutkan diatas merupakan salah-satu faktornya. Jakarta kini telah menjelma menjadi kota besar, rumah bagi siapapun tanpa mengenal perbedaan suku, ras, maupun agama.
Bertahan pada sikap dan nilai budaya lama
Namun dibalik semua itu, kearifan budaya lokal Jakarta janganlah sampai hilang ditelan masa. Karena hanya dengan kearifan lokal budaya serta nilai yang terkandung didalamnya, akan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik antar kepentingan di Jakarta.
Sikap egaliter yang dahulu telah dicontohkan oleh masyarakat asli Jakarta, haruslah menjadi parameter sikap yang mesti ditumbuhkan dan dijunjung bersama oleh setiap warga. Agar konflik yang kerap pecah dan berulang dapat diredam demi mewujudkan kota Jakarta yang aman sentosa bagi semua.(fly)