Mengkritisi Kemerdekaan Indonesia

Telah enam puluh lima tahun bangsa ini merdeka. Terhitung sejak dibacakannya teks proklamasi oleh duo founding father bangsa; Soekarno dan Hatta. Hal itu mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia telah memasuki babakan baru dalam rangkaian sejarah perjalanannya.

Namun ditengah gegap-gempita beragam kegiatan peringatan, ternyata pada hakikatnya kemerdekaan yang dirasakan hanya sebatas formalitas belaka. Yaitu merdekanya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah asing, terutama kolonialis Jepang dan Belanda. Hal tersebut ditinjau dari masih adanya intervensi asing dalam urusan rumah tangga negara.

Intervensi dalam teknologi informasi di Indonesia

Sebagai contoh adalah dalam bidang teknologi informasi yang tengah berkembang saat ini di Indonesia. Dalam pidatonya beberapa waktu silam di daerah dalam pembukaan sebuah acara, Menkominfo menjelaskan bahwa akan di bangun suatu jaringan komunikasi ke seluruh daerah di nusantara. Dengan tujuan agar seluruh rakyat di daerah memperoleh akses yang sama rata. Sehingga memudahkan rakyat Indonesia dalam berkomunikasi maupun berbagi informasi satu dengan lainnya.

Namun dari rencana yang dijelaskan tersebut ada sesuatu yang sulit untuk di terima. Ternyata sistem atau jaringan komunikasi tersebut akan bermuara ke sebuah server yang berada di Amerika. Dan keadaan ini menjadi sebuah dilema. Di satu sisi, bangsa ini butuh pengembangan teknologi dalam bidang informasi yang tengah mendunia. Namun di sisi lainnya, bangsa ini pun tak mau di jajah untuk kedua kalinya.

Contoh lainnya yang hangat diperbincangkan di berbagai media dan masih terngiang di telinga, yaitu desas-desus pemblokiran salah satu layanan “ponsel pintar” di Indonesia. Pemblokiran itu lantaran masalah secure, yang menjadi keunggulan dari layanan “ponsel pintar” tersebut, dipersoalkan oleh beberapa pihak di Indonesia. Terutama oleh pihak keamanan yang bertanggung jawab terhadap pertahanan dan keamanan negara.

Rencana pemblokiran terhadap layanan tersebut dikarenakan tidak dapatnya pihak keamanan untuk meng”akses” secara telanjang data para pelanggannya. Jika ingin meng”akses” data tersebut, maka harus dengan seizin “penyedia layanan” yang bermarkas di Kanada. Sehingga muat dugaan bahwa layanan tersebut dapat berdampak buruk terhadap keamanan negara. Apalagi jika ada penggunannya yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan merugikan yang lainnya termasuk negara.

Produk asing dalam sistem transportasi; darat, laut, dan udara

Dalam system transportasi di Indonesia pun mengalami hal yang serupa, baik itu di darat, laut maupun udara. Bentuk “campur tangan” asing jelas terlihat dalam beragam moda transportasi massal di Indonesia. Sebagai sample adalah moda transportasi yang ada di Jakarta. Hampir semua kendaraan yang simpang-siur di jalan raya Ibukota merupakan made in asing, baik buatan negara lain di Asia ataupun Eropa.

Padahal jika melihat potensi yang dimiliki bangsa ini sangatlah besar, dengan beragam sumber daya. Jika melihat prestasi anak bangsa beberapa waktu lalu, harusnya negara ini bangga. Karena ternyata hasil karya anak bangsa di akui dunia. Terbukti dengan dimenangkannya kompetisi dunia dalam bidang alat transportasi yang hemat energi dan biaya.

Namun seperti yang telah banyak terjadi sebelumnya adalah minimnya apresiasi bagi anak bangsa yang telah mengharumkan nama bangsa. Minimnya apresiasi tersebut justru berasal dari para penyelenggara negara. Padahal mereka yang telah berdedikasi demi negeri harusnya mendapat penghargaan dan tempat yang sesuai dengan porsinya. Jika tidak, maka nasib bangsa akan selalu sama.

Penyeragaman acara dalam media massa

Salah satu bidang yang begitu signifikan terlihat adanya pengaruh asing didalamnya adalah media massa. Contoh saja dunia pertelevisian, beragam acara disuguhkan kepada jutaan pemirsa dengan beragam latar belakangnya. Mulai dari latar belakang profesi, usia, hingga budaya. Yang memprihatinkan adalah “adanya” unsur penyeragaman acara untuk men-design paradigma para penikmatnya.

Sebuah kasus seperti ditapilkannya beragam acara hiburan yang meng-copy paste dengan acara serupa dari mancanegara. Yang secara tak langsung menyusupi sistem nilai asing, yang jika dikomparasikan dengan budaya lokal jauh berbeda. Bahkan sistem nilai yang dibawa dalam acara tersebut sesungguhnya bertolak belakang dengan kearifan local nusantara yang telah turun-temurun membudidaya.

Keadaan ini sesungguhnya begitu memiriskan, lantaran lambat-laun kearifan local bangsa ini dapat terancam eksistensinya. Hal tersebut beralasan dikarenakan para penikmat acara tersebut tidak hanya berasal dari kalangan dewasa, tetapi juga anak-anak yang masih belia. Yang dikhawatirkan dari keadaan ini adalah hilangnya kearifan local tadi lantaran paradigma para penerus bangsa telah di-design sedemikian rupa sesuai kehendak “mereka”.

Kembali pada kearifan bangsa

Jika keadaan ini didiamkan begitu saja, maka “kemerdekaan” yang selama ini didengungkan masihlah mengangkasa. “Merdeka Seratus Persen”, tampaknya hanya sebuah angan dari seorang Tan Malaka. Karena hingga detik ini apa yang dirasakan sesungguhnya tidaklah berbeda jauh dari keadaan dimasa hidupnya, berada dibawah penjajah Belanda.

Untuk itu, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa jika suatu negara ingin dihormati maka ada tiga hal yang harus dilakukan; mandiri secara politik, berdikari secara ekonomi, dan teguh pada budaya bangsa. Tiga elemen itu yang seyogyanya harus dijalankan saat ini, terutama oleh para penyelengara negara. Dan juga bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tetap memegang teguh nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa.

(sampahfly043/10/08/10)